SUARA KECIL DARI UJUNG NEGRI


 Di sebuah desa yang namanya tak tercetak di peta wisata, anak-anak berjalan menyusuri jalan setapak yang dikecup embun pagi. Sepatu mereka tak selalu baru, bahkan sebagian hanya beralas tanah. Tapi semangat mereka mengilap—lebih terang dari lampu-lampu kota yang tak pernah padam.

Mereka belajar di bawah atap seng yang bocor, dengan papan tulis yang retak dan buku yang lusuh, warisan dari tahun-tahun yang berlalu. Di tempat itu, pendidikan bukanlah kemewahan, melainkan perjuangan. Bukan tentang ranking, tapi tentang harapan untuk bisa menulis namanya sendiri dengan percaya diri.

Di daerah 3T, guru bukan hanya pengajar, tetapi pelita. Mereka datang dengan bekal semangat, bukan gaji. Mereka mengajar bukan demi angka, tapi demi masa depan anak-anak yang belum tahu bahwa dunia ini lebih luas dari perbukitan di sekeliling mereka.

Pendidikan di sini bukan tentang mengejar kurikulum, tapi tentang menjaga nyala. Nyala untuk terus bermimpi, meski listrik padam dan sinyal hilang. Nyala untuk percaya bahwa anak petani pun bisa jadi sarjana, bahwa dari balik sunyi, bisa lahir suara-suara yang mengubah dunia.

Dan mungkin, di balik segala keterbatasan, justru kita belajar arti sejati dari sebuah kemajuan: bukan tentang seberapa canggih kelasnya, tapi seberapa kuat tekad untuk belajar dan mengajar, meski dunia seolah lupa.

Postingan Populer