Sebelum itu, Dengarkan Dulu Heningnya

 


Hidup, pada akhirnya, bukan hanya soal langkah yang kita pilih, tapi juga tentang cara kita menatap orang lain di sepanjang perjalanan. Di balik setiap senyum yang kita temui, terselip seribu tafsir; sebagian kita sambut dengan hangat, sebagian lain kita curigai diam-diam.

Kita hidup di antara bisikan prasangka, yang membisikkan bahwa tidak semua kebaikan lahir dari niat yang murni, dan tidak setiap keburukan berasal dari hati yang busuk. Manusia adalah labirin dari cerita, luka, dan alasan-alasan yang tak selalu nampak di permukaan.

Kadang kita mencintai seseorang karena secuil kebaikan yang kita tangkap, lalu mencela yang lain hanya karena satu kesalahan yang tampak. Padahal, siapa yang tahu isi hati sepenuhnya? Siapa yang sanggup membaca keseluruhan jiwa hanya dari potongan-potongan peristiwa?

Begitulah hidup; tak pernah jauh dari prasangka. Ia menjadi cermin yang retak: memantulkan wajah-wajah dengan bentuk yang tak lagi sama. Dan dalam retakan itulah, kita ditantang untuk memilih—apakah akan mempercayai cahaya yang tersisa, atau terjebak dalam bayang-bayang gelap yang diciptakan oleh pikiran sendiri.

Mungkin, hidup yang bijak adalah tentang belajar menunda prasangka. Memberi ruang bagi manusia untuk menjadi lebih dari kesalahan atau kebaikan semata. Karena di balik setiap tatapan, selalu ada cerita yang belum selesai.


Postingan Populer