Langkah kecil menuju Timur
Sejak tahun 2007, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, hati ini telah diam-diam memupuk rasa pada sebuah tanah jauh di timur—Papua. Entah bagaimana mulanya, namun sejak itu, ada tekad yang perlahan tumbuh: suatu saat nanti, ingin menjadi pendidik di sana. Dan jika kelak diberi kesempatan untuk memilih tempat pengabdian melalui jalur resmi negara, maka Papua adalah tujuan yang sejak lama telah ditetapkan hati.
Tanah ini kerap disebut sebagai surga yang jatuh ke bumi. Namun dalam keindahannya, tersimpan ironi—mengapa pendidikan masih terasa sebagai kemewahan? Padahal, ilmu adalah cahaya yang akan membuat surga itu benar-benar bernyawa.
Mengabdi di sana tentu bukan perkara sederhana. Namun bukan pula karena tanahnya yang sulit dijangkau, melainkan karena dibutuhkan kesiapan hati yang sungguh-sungguh. Sebab hadir sebagai pendidik tak cukup hanya dengan niat mengajar, tapi juga kesiapan untuk belajar—belajar memahami kehidupan yang berbeda, meresapi cerita yang tumbuh di antara sunyi dan semangat, serta membuka diri untuk mencintai dengan cara yang lebih dalam dan nyata.
Ada keinginan untuk mendirikan rumah baca meski hanya beratap langit, menjadikan cerita sebagai jembatan ilmu, dan menyelipkan pelajaran dalam tawa dan permainan. Sebab anak-anak Papua berhak tahu bahwa dunia bisa dijangkau lewat kata dan angka—bahwa mimpi tak kenal batas bagi siapa pun yang berani mencobanya.
Papua bukan ujung yang dilupakan—ia adalah permulaan, tempat Indonesia menyambut pagi lebih dahulu. Jika dapat menjadi secercah cahaya di sana, meski kecil, maka itu sudah cukup. Karena menjadi guru bukan sekadar profesi, tapi cara jiwa menjawab panggilannya. Dan hati ini, sejak lama, telah memilih Papua sebagai tempat untuk memberi, tumbuh, dan mencinta dalam diam.